Sebuah Kasus Merindukanmu


On a marche sur la lune.


Halo sayang, apa yang sedang kamu lakukan? Apa ada sesuatu yang baru? Tak ada kabar darimu beberapa hari ini, atau mungkin sudah seminggu, atau sebulan, aku lupa. Mengenaimu sepertinya waktu adalah hal yang tidak bisa diukur dengan normalnya. Kadang memelesat begitu cepat, kadang juga kebalikannya. Kamu ingat tidak musim hujan tahun lalu kita bercanda di pinggir jalan, lalu bercanda lagi di atas tempat tidur, lalu mengobrol di dalam taksi sampai kita tidak ingin bicara lagi? Aku menuliskan tentang hal itu agar waktu-waktu tersebut bisa diulang ketika aku membacanya kembali. 
Buatku hidup itu seperti kasur yang keras, terbuat dari kerikil dan paku, tetapi kamu membawakanku keadilan-keadilan yang mungkin diam-diam aku rindukan. Sayang, bukannya kita ini sedang ada di dalam sebuah bar dan kita sedang menunggu? Menunggu peti mati bertuliskan nama kita sendiri. Di waktu-waktu aku bersamamu, ketakutan dan rasa khawatir kehilangan pegangannya di diriku.
Beberapa detik tadi aku menutup wajahku karena malu terhadap diri sendiri, sayang, aku merindukanmu tetapi aku tidak ingin mengatakannya karena kamu tahu dan aku sudah mengutarakannya puluhan kali tahun lalu. Sayang, aku adalah budak cinta. Aku malu. 
Kamu tidak membalas pesan-pesanku jika kamu tahu aku baik-baik saja. Kamu baru mengirimiku pesan ketika kamu tahu kala aku sedang kesusahan, sendirian. Mungkin kamu tahu itu. Kamu bisa merasakannya, bukan? Dulu aku merasakan hal yang demikian mengenaimu, tapi sekarang tidak lagi. Ikatan-ikatan batin itu kadang bisa putus juga. Kita sama-sama sedikit percaya hal yang ajaib, kan? Kamu bilang kita punya beberapa kesamaan. Kita sama-sama tidak akan meminta, sama-sama meneteskan air mata saat menonton film misalnya, sama-sama aneh katamu, bedanya aku lebih arogan karena aku lebih cepat merasa lelah, kamu penyabar dan pengertian tetapi sering mengabaikan. Kalau kita bukan kita yang sekarang, katamu mungkin aku adalah kamu dan kamu adalah aku.